Alamat Tamberu Agung Batu Marmar Pamekasan Madura Jawa Timur

Jumat, 27 April 2012

Harapan Pada Pemerintah Terhadap Pesantren Salaf

Berbagai alasan dan pertimbangan agar pesantren salaf mendapatkan pengakuan dari pemerintah sudah cukup banyak dan mendasar. Di antaranya, bahwa pesantren sudah ada jauh sebelum lembaga pendidikan formal lahir. Bahkan pesantren salaf muncul jauh sebelum negara Indonesia ini terbentuk. Sejak zaman penjajahan Belanda, pesantren salaf sudah ada, dan bahkan para pengasuhnya ikut aktif ambil bagian dalam berjuang mengusir penjajah. Lebih dari itu para tokoh pesantren salaf juga ikut terlibat menyusun konsep republik ini.

Pesantren salaf juga telah berhasil mencetak para alumninya menjadi tokoh agama atau pemimpin, yang nyata-nyata relevan dan dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit tokoh politik, pendidikan, dan sosial di negara ini yang sesungguhnya adalah lulusan pesantren salaf. Namun pada perkembangan selanjutnya, mereka itu tidak memiliki akses untuk ambil bagian dalam peran-peran strategis membangun bangsa ini, karena terbentur oleh ijazah yang tidak mendapatkan pengakuan pemerintah.

Lulusan pesantren salaf, misalnya, hanya sebatas mendaftar untuk menjadi kepala desa, anggota DPR, dan apalagi sebagai PNS atau ABRI selama ini tidak diterima. Padahal kenyataannya, dalam kehidupan bermasyarakat, mereka berhasil melakukan peran-peran strategis sekalipun sebatas bersifat informal, misalnya memimpin kehidupan keagamaan, pendidikan, dan sosial lainnya.

Pemerintah sendiri, dalam hal ini Departemen Agama sudah lama bermaksud memenuhi tuntutan dan aspirasi tersebut. Namun niat baik itu belum terealisasi, oleh karena adanya alasan-alasan formal yang bersifat paradigmatik. Selama ini pesantren dilihat sebagaimana cara melihat lembaga pendidikan formal pada umumnya. Padahal pesantren, khususnya pesantren salaf, memiliki paradigma pendidikan yang khas dan berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Biasanya untuk memberikan pengakuan, pemerintah memberlakukan beberapa standar yang harus dipenuhi, sedangkan pesantren salaf tidak menggunakan standar tersebut.

Semestinya dalam melihat pesantren salaf, pemerintah menggunakan paradigma berbeda dari ketika melihat pendidikan formal pada umumnya. Pendidikan pesantren salaf harus dilihat secara khas pesantren salaf. Pesantren salaf seharusnya dilihat sebagai lembaga pendidikan alternatif, yaitu lembaga pendidikan yang keberadaan dan standarnya berbeda dari lembaga pendidikan formal.

Kekhasan pesantren salaf sebagai lembaga pendidikan alternatif, bisa dilihat dalam banyak aspek. Misalnya dari sejarah berdirinya, tujuan pendidikan dan metode pengajarannya, kurikulum yang dikembangkan, pendidik atau para pengasuhnya dan, tidak terkecuali adalah kepemimpinan dan manajerialnya. Semua aspek tersebut sangat berbeda bilamana dibandingkan dengan pendidikan modern. Oleh sebab itu, membandingkan dan apalagi menyamakan pendidikan salaf dengan lembaga pendidikan formal, adalah sangat tidak tepat. Pendidikan pesantren salaf harus dilihat sebagai lembaga pendidikan alternatif dan karena itu tatkala melihat dan mengukurnya harus disesuaikan dengan apa adanya pesantren itu.


Kategori Pendidikan Pesantren

Dilihat dari perannya di tengah masyarakat, pendidikan pesantren setidaknya dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu : (1) sebagai Pendidikan Alternatif, (2) sebagai Pendidikan Partisipatif, dan (3) sebagai Pendidikan Komplementer. Disebut sebagai pendidikan alternatif, karena keberadaannya berperan sebagai alternatif dari lembaga pendidikan formal pada umumnya. Pesantren yang masuk kategori ini adalah pesantren salaf. Bentuk pendidikan salaf memang benar-benar berbeda dari lembaga pendidikan umum, baik menyangkut aspek sejarah kelahirannya, metodologi pengajaran, manajemen, kepemimpinan dan lain-lainnya.

Berbeda dengan pesantren alternatif adalah pesantren partisipatif. Pesantren yang masuk kategori sebagai pesantren partisipatif, sekalipun tanpa menghilangkan ciri khas pesantren pada umumnya, maka dalam beberapa aspeknya telah mengikuti lembaga pendidikan modern. Pesantren seperti ini, selain masih menerapkan tradisi pendidikan pesantren, misalnya melakukan kajian kitab kuning dengan system weton, sorogan dan bandongan, juga telah menerapkan system madrasah atau klasikal. Selain itu di pesantren ini telah memiliki kurikulum, proses belajar mengajar dengan system klasikal, melakukan penilaian atau evaluasi hasil belajar, dan lainnya sebagaimana yang diterapkan pada lembaga pendidikan modern pada umumnya.

Sebagai pesantren partisipatif, pendidikan khas Indonesia ini membuka lembaga pendidikan formal, baik yang bersifat umum, seperti SD, SMP, SMA, SMK, atau yang bernuansa keagamaan seperti MI, MTs, MA, dan MAK. Selain itu, ada sejumlah pesantren yang masuk kategori ini membuka lembaga pendidikan yang agak berbeda dengan pendidikan modern pada umumnya, seperti Mua’allimin atau Mu’allimat. Sebagai contoh pesantren yang dimaksudkan adalah pesantren Gontor Ponorogo, dan beberapa cabangnya yang tersebar di Indonesia.

Sementara ini, pesantren yang mengambil peran partisipatif oleh Departemen Agama, melalui Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam, diberikan status sebagai Pesantren Mu’adalah. Status ini sebenarnya sudah mencukupi, tetapi oleh sebagian pesantren dianggap belum memiliki sandaran hukum yang kuat. Status sebagai pesantren Mu’adalah hanya berlaku untuk beberapa tahun lamanya secara terbatas. Sementara pesantren yang bersangkutan menghendaki agar status itu berlaku tetap. Untuk memenuhi aspirasi itu, Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama, perlu menerbitkan Surat Keputusan Menteri Agama.

Sedangkan pesantren yang berperan sebagai komplementer, adalah pesantren yang keberadaannya sebagai penyempurna dari lembaga pendidikan formal yang ada. Di beberapa tempat lembaga pendidikan umum menyempurnakan pendidikannya dengan pendidikan agama, dengan cara menyelenggarakan pendidikan diniyah atau untuk di beberapa perguruan tinggi agama Islam (STAIN, IAIN, UIN) dengan mendirikan apa yang disebut dengan Ma’had al Jami’ah. Keberadaan Diniyah dan Ma’had al Jami’ah adalah sebagai penyempurna dari pendidikan formal yang diselenggarakan. Pendidikan pesantren yang bersifat takmili atau komplementer ini tidak memerlukan pengakuan pemerintah, oleh karena para lulusannya sudah mendapatkan ijazah dari lembaga pendidikan formalnya.


Pengakuan Pemerintah dan Pembentukan Dewan Pesantren Salaf

Atas dasar berbagai pertimbangan historis dan juga kenyataan-kenyataan di tengah masyarakat tentang peran dan sumbangan pesantren salaf selama ini, maka sudah waktunya pemerintah memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan tersebut. Pendidikan pesantren salaf seharusnya dilihat sebagai lembaga pendidikan alternatif, yang keberadaannya berbeda dari lembaga pendidikan pada umumnya. Pemberian pengakuan oleh pemerintah terhadap pesantren salaf menggunakan standar atau ukuran-ukuran yang khas bagi pesantren salaf, yang hal itu berbeda dari lembaga pendidikan pada umumnya.

Pemerintah tidak perlu menyusun pedoman pendirian pesantren salaf, oleh karena lembaga pendidikan tersebut tidak pernah didiriknan secara formal, melainkan tumbuh dan berkembang dari akar budaya masyarakatnya. Pesantren salaf tidak sebagaimana lembaga pendidikan formal pada umumnya, diawali dari pemenuhan berbagai persyaratan yang diperlukan, dan selanjutnya diresmikan pendiriannya. Sangat berbeda dengan lembaga pendidikan formal, berdirinya pesantren salaf diawali dari adanya orang yang dipandang alim dan sholeh oleh masyarakat. Atas dasar kepercayaan itu mereka mendatangi untuk menggali dan meniru keshalehan dan kealimannya itu. Proses ini tumbuh dan berkembang dari tahap ke tahap yang biasanya memakan waktu lama, hingga kemudian dikenal sebagai pesantren salaf.

Oleh karena itu, dalam rangka memberikan pengakuan terhadap pesantren salaf, pemerintah tidak memerlukan pedoman pendiriannya. Yang diperlukan adalah memberikan pengakuan tentang keberadaannya. Namun, mengingat jumlah pesantren salaf pada kenyataannya cukup banyak dan keadaannya sangat bervariasi, maka untuk sementara, Pemerintah hanya mengakui pesantren salaf yang benar-benar telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, misalnya dilihat dari kesejarahannya, keluasan resonansi pesantren yang bersangkutan, dan kekuatan alumni pesantren yang bersangkutan.

Sedangkan untuk memberikan pengakuan terhadap pesantren salaf lainnya, pemerintah mendasarkan pada rekomendasi atau pertimbangan yang diberikan oleh Dewan Pertimbangan Pesantren Salaf yang dibentuk oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Dewan Pertimbangan Pesantren Salaf beranggotakan para pengasuh pesantren yang ditunjuk secara berjenjang, disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu Dewan Pesantren Salaf tingkat Propinsi, maupun Dewan Pesantren Salaf Tingkat Pusat.

Pemerintah tidak perlu memberikan penilaian secara langsung kepada pesantren salaf yang bersangkutan, melainkan sebatas memberikan pengakuan setelah mendapatkan rekomendasi dari Dewan Pesantren Salaf . Sikap pemerintah seperti itu dimaksudkan agar tidak mengurangi otoritas pesantren salaf sebagaimana ciri khasnya yang selalu akan mempertahankan kemandiriannya.
Share Link:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar