Alamat Tamberu Agung Batu Marmar Pamekasan Madura Jawa Timur

Sabtu, 28 April 2012

APA ITU KITAB KUNING

Kitab kuning adalah istilah yang disematkan pada kitab-kitab berbahasa Arab, yang biasa digunakan di banyak pesantren sebagai bahan pelajaran. Dinamakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning.
Sebenarnya warna kuning itu hanya kebetulan saja, lantaran dahulu barangkali belum ada jenis kertas seperti zaman sekarang yang putih warnanya. Mungkin di masa lalu yang tersedia memang itu saja. Juga dicetak dengan alat cetak sederhana, dengan tata letak lay-out yang monoton, kaku dan cenderung kurang nyaman dibaca. Bahkan kitab-kitab itu seringkali tidak dijilid, melainkan hanya dilipat saja dan diberi cover dengan kertas yang lebih tebal.

3 Santri PA Mengikuti I'lan Alfiyah Ibnu Malik


Malam Ahad, 30 April 2012 M tepat pada pukul 20.00 Istiwa’/19.30 WIB, I’lan Alfiyah Ibnu Malik kembali digelar. Seperti Biasa, I’lan dilaksanakan di depan Musholla PP. Assyafiiyah. I’lan ini merupakan I’lan kali kedua . Pelaksanaan I’lan didahului dengan pembacaan syair-syair kitab Nubdah.


I’lan Alfiyah ibnu Malik kali ini diikuti oleh 3 peserta I’lan. bertindak sebagai pemandu acara yaitu ustadz Saidul Muttakin Guru Tugas Bata-bata. Untuk menilai kemampuan peserta dalam pelaksanaan I’lan kali ini yaitu Ustadz Masduki Fadli sebagai juri dalam bidang fashohah, ustadz Hayatullah Khumaini sebagai juri pada bidang Alhifdzi dan Ustadz Aburathon sebagai juri dalam bidang Akhlaq.

ALFIYAH IBNU MALIK

Al Fiyah Ibnu Malik

Pengarang: Muhammad Bin Abdullah Bin Malik Alandalusy
Profile Pengarang:
Nama Asli: Jamaluddin Muhammad Bin abdullah Bin Abdullah Bin Malik
TTL: Jayyan Alandalus Tahun 600 H (1230 M)

Beliau Adalah seorang Al-Imam Al'alaamah (Yang Mempunayi Ilmu Luas) Alandalusy (Vandals) sebuah tempat yang menjadi hijrahnya penduduk asli jermany (Jerman dan Belanda sekarang) dari jermany ke isberia (Spanyol dan Portugal sekarang) yang mana kota andalus runtuh oleh kerajaan Kristen Konstalin.

Mazdhab Fiqih: Beliau bermadzhab Maliky ketika berada dikawasan Negara Islam bagian Barat dan Bermadzhab Syafii ketika berada di Asia Bagian Timur sampai berakhir ke Damsyiq - Syiria.

Jumat, 27 April 2012

URGENSI MADRASAH DINIYAH

 Salah satu kekhasan pendidikan di Indonesia adalah adanya lembaga pendidikan pesantren. Secara historis, pesantren telah ada dalam waktu yang relatif lama. Sistem pendidikan pesantren telah ada semenjak para walisongo menyebarkan Islam di Indonesia. Seluruh  walisongo memiliki pesantrennya sendiri-sendiri. Sunan Ampel dengan pesantren Ampelnya, Sunan Bonang dengan pesantren di Bonang Tuban, Sunan Drajat dengan pesantrennya di desa Drajat Lamongan, Sunan Giri dengan pesantren Giri di Gresik, dan sebagainya. Pesantren adalah institusi pertama di Nusantara yang mengembangkan pendidikan diniyah.

Sebagai lembaga pendidikan diniyah, maka pesantren menjadi tumpuan utama dalam proses peningkatan kualitas keislaman masyarakat. Dalam kata lain, maju atau mundurnya ilmu keagamaan waktu itu sangat tergantung kepada pesantren-pesantren. Makanya pesantren menjadi garda depan dalam proses islamisasi di Nusantara. Di masa awal proses islamisasi, maka pesantrenlah yang mencetak agen penyebar Islam di Nusantara. Santri-santri Sunan Giri menyebar sampai di Ternate, Lombok dan kepulauan sekitarnya. Makanya, nama Sunan Giri begitu populer di masyarakat kepulauan Halmahera sebagai penyebar Islam yang trans-kewilayahan.

Harapan Pada Pemerintah Terhadap Pesantren Salaf

Berbagai alasan dan pertimbangan agar pesantren salaf mendapatkan pengakuan dari pemerintah sudah cukup banyak dan mendasar. Di antaranya, bahwa pesantren sudah ada jauh sebelum lembaga pendidikan formal lahir. Bahkan pesantren salaf muncul jauh sebelum negara Indonesia ini terbentuk. Sejak zaman penjajahan Belanda, pesantren salaf sudah ada, dan bahkan para pengasuhnya ikut aktif ambil bagian dalam berjuang mengusir penjajah. Lebih dari itu para tokoh pesantren salaf juga ikut terlibat menyusun konsep republik ini.

Pesantren salaf juga telah berhasil mencetak para alumninya menjadi tokoh agama atau pemimpin, yang nyata-nyata relevan dan dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit tokoh politik, pendidikan, dan sosial di negara ini yang sesungguhnya adalah lulusan pesantren salaf. Namun pada perkembangan selanjutnya, mereka itu tidak memiliki akses untuk ambil bagian dalam peran-peran strategis membangun bangsa ini, karena terbentur oleh ijazah yang tidak mendapatkan pengakuan pemerintah.

Lulusan pesantren salaf, misalnya, hanya sebatas mendaftar untuk menjadi kepala desa, anggota DPR, dan apalagi sebagai PNS atau ABRI selama ini tidak diterima. Padahal kenyataannya, dalam kehidupan bermasyarakat, mereka berhasil melakukan peran-peran strategis sekalipun sebatas bersifat informal, misalnya memimpin kehidupan keagamaan, pendidikan, dan sosial lainnya.